Kamis, 20 September 2018

Dampak Adanya Demokrasi Terpimpin

Dampak positif pada masa demokrasi terpimpin, antara lain:
1.      Pencetusan
demokrasi terpimpin telah menyelamatkan negara Republik Indonesia dari masalah perpecahan
di antara para pemimpin Indonesia serta mampu mencegah krisis yang
berkepanjangan.
2.      Pencetusan
demokrasi terpimpin telah memberikan pedoman hidup bangsa Indonesia yang jelas
yakni Undang – Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.
3.      Pencetusan
demokrasi terpimpin menjadi cikal bakal pembentukan lembaga tinggi negara yakni
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS).


Dampak Negatif Demokrasi Terpimpin:
1.      Presiden
Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) sebagai produk pemilu
pertama pada tahun 1960 karena DPR menolak menyetujui Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan Presiden.
2.      Diangkatnya
Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS). Dimana tindakan pengangkatan Presiden seumu hidup ini
telah melanggar ketentuan Pasal 7 Undang – Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.
3.      Dilanggarnya
ketentuan Undang – Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dengan diangkatnya ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Ketua Dewan Perwakilan rakyat Gotong Royong sebagai
Menteri. Sebab menurut ketentuan UUD 1945 kedudukan DPR adalah sebagai lembaga
legislatif.
4.      Diberikannya
kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden, dan lembaga tinggi negara
lainnya.
5.      Diberikannya
peluang terhadap pihak militer untuk ikut terjun ke dalam dunia politik.
6.      Banyaknya

penyimpangan yang dilakukan atas UUD 1945 sebagai kostitusi negara Republik Indonesia

 Hasil gambar untuk dampak demokrasi terpimpin

Pembentukan MPRS dan DPAS

Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang terkenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini menandakan berakhirnya Demokrasi Liberal (1950-1959) di Indonesia. Bergantilah sistem pemerintahan Indonesia kembali menggunakan sistem Presidensial. Berbagai pertimbangan presiden mengeluarkan dekrit tersebut. Salah satunya adalah kegagalan Konstituante dalam membuat undang-undang dasar baru.
Selain pembubaran konstituante dan kembali berlakunya UUD 1945, salah satu isi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah pembentukan lembaga negara, yakni MPRS dan DPAS.
Pembentukan MPRS
Sebelum ada MPR yang tetap sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Keanggotaan MPRS terdiri dari 261 orang anggota DPR, 94 orang anggota Utusan Daerah, dan 200 orang anggota Wakil Golongan. Susunan pimpinan MPRS adalah sebagai berikut:
  1. Ketua : Chaerul Saleh.
  2. Wakil Ketua : Mr. Ali Sastroamidjojo.
  3. Wakil Ketua : K.H. Idham Khalid.
  4. Wakil Ketua : D.N. Aidit.
  5. Wakil Ketua : Kolonel Wiluyo Puspoyudo.
Anggota MPRS langsung ditunjuk oleh presiden, ini merupakan salah satu bukti penyimpangan terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa anggota MPRS dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Syarat untuk menjadi anggota MPRS yaitu:
  1. Setuju kembali ke UUD 1945
  2. Setia kepada perjuangan Republic Indonesia
  3. Setuju kepada Manifesto Politik
Tugas MPRS adalah mengesahkan GBHN. Dalam sidangnya MPRS sudah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain:
  1. Penetapan manifesto politik sebagai GBHN
  2. Pentapan garis garis besar pembangunan nasional berencana tahap 1 (1961-1969)
  3. Menetapkan presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup.

Pembentukan DPAS
DPAS dibentuk dengan berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959. Beberapa hal yang diketahui berkaitan dengan Penetapan Presiden tersebut, seperti: Anggota DPAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;  Anggota DPAS berjumlah 45 orang, yang terdiri dari 12 orang wakil golongan politik, 8 orang utusan daerah, 24 wakil golongan dan satu orang ketua; Tugas DPAS adalah member jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah; DPAS dipimpin oleh presiden sebagai ketua; Sebelum memangku jabatan, Wakil Ketua dan anggota DPAS mengangkat sumpah/janji di hadapan presiden; DPAS dilantik pada pada tanggal 15 Agustus 1945. Pembentukan DPAS ini menyalahi prosedur karena dibentuk oleh presiden sendiri dan dikepalai oleh presiden.
Pemilu Indonesia pertama terjadi pada tahun 1955 yakni pada masa Kabinet Burhanudin Harahap. Pada saat itu Pemilu tidak memilih anggota MPR melainkan memilih anggota DPR dan Konstituante.
Pada pidato HUT Proklamasi ke-14, tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno berpidato yang berjudul “Penemuan kembali revolusi kita” yang kemudian dikenal dengan Manifesto Politik (Manipol). Intisari dari Manipol adalah UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Berdasarkan intisari tersebut maka sering disebut sebagai Manipol USDEK. Berdasarkan Tap MPRS No. 1 tahun 1960,  Manipol USDEK dijadikan sebagai GBHN.
Berdasarkan UUD 1945 yang sudah diamandemen, lembga ini kemudian dihapuskan dengan Keputusan Presiden Nomor 135/M/2003 pada tanggal 31 Juli 2003. Pertimbangan dihapusnya DPA antara lain fungsi DPA tidak efektif, sering sekali nasihat-nasihat dari DPA tidak didengarkan oleh presiden. Padahal secara kelembagaan, antara DPA dan Presiden merupakan sama-sama lembaga tertinggi negara. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat kepada presiden yang selanjutnya diatur oleh undang-undang”. Badan yang memiliki kesamaan fungsi dengan DPA kemudian dibentuk yakni Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

 Hasil gambar untuk gambar pembentukan mprs

Penyimpangan Pada Masa Reformasi

Penyimpangan pada masa Reformasi 

  1.   Belum terlaksananya kebijakan pemerintahan Habibie karena pembuatan perudang-undangan menunjukkan secara tergesa-gesa, sekalipun perekonomian menunjukkan perbaikan dibandingkan saat jatuhnya Presiden Soeharto.
  2. Kasus pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid, menciptakan persoalan baru bagi rakyat banyak karena tidak dipikirkan penggantinya.
  3. Ada perseteruan antara DPR dan Presiden Abdurachman Wahid yang berlanjut dengan Memorandum I dan II berkaitan dengan kasus “Brunei Gate” dan “Bulog Gate”, kemudian MPR memberhentikan presiden karena dianggap melanggar haluan negara.
  4. Baik pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid maupun Megawati, belum terselesaikan masalah konflik Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan Tengah dan ancaman disintegrasi lainnya.  
  5. Belum maksimalnya penyelesaian masalah pemberantasan KKN, kasus-kasus pelanggaran HAM, terorisme, reformasi birokrasi, pengangguran, pemulihan investasi, kredibilitas aparatur negara, utang domestik, kesehatan dan pendidikan serta kerukunan beragama.


    Hasil gambar untuk penyimpangan orde baru

Penyimpangan Pada Saat Orde Baru

Penyimpangan pada masa Orde baru Dalam hal konstitusi
  1. Perubahan kekuasaan yang statis
  2. Perekrutan politik yang tertutup
  3. Pemilihan umum yang kurang demokratis
  4. Kurangnya jaminan hak asasi manusia
  5. Salah satu ciri dari negara yang menganut paham demokrasi adalah adanya pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam pemerintahan Orde Baru, dirasakan penghormatan dan perlindungan HAM masih kurang diperhatikan.
  6. Presiden mengontrol perekrutan organisasi politik
  7. Pengisian jabatan ketua umum partai politik harus mendapat persetujuan dari presiden. Seharusnya pemilihan ketua umum partai diserahkan kepada kader partai bersangkutan.
  8. Presiden memiliki sumber daya keuangan yang sangat besar
    Hasil gambar untuk penyimpangan orde baru

Penyimpangan Pada Saat Orde Lama

Penyimpangan pada masa Orde Lama dalam hal konstitusi 
  1.  Orde lama (Periode 5 Juli 1953–11 Maret 1966)
  2. Adanya penyimpangan ideologis, yaitu penerapan konsep Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom)
  3. Pemusatan kekuasaan pada presiden sehingga kewenangannya melebihi ketentuan yang diatur UUD 1945. Misalnya, pembentukan Penetapan Presiden (Penpres) yang setingkat dengan Undang-undang.
  4. MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.
  5. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955 dan membentuk DPR-GR tanpa melalui pemilu.
  6. Adanya jabatan rangkap yaitu Pimpinan MPRS dan DPR dijadikan menteri negara, sehingga berkedudukan sebagai pembantu presiden.
  7. Negara Indonesia masuk dalam salah satu poros kekuasaan dunia yaitu poros Moskwa-Peking sehingga bertentangan dengan politik bebas aktif.

    Pemerintahan Orde Lama
    1. Presiden telah mengeluarkan produk legislative yang
    pada hakikatnya adalah undang-undang dalam
    bentuk penetapan presiden tanpa persetujuan DPR.
    2. MPRS dengan ketetapan No. I/MPRS/1960 telah mengambil keputusan menetapkan pidato presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “ Penemuan Kembali Revolusi Kita”.
    3. Konsepsi Pancasila berubah menjadi Konsepsi Nasakom.
    4. Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, dan membentuk DPRGR
    5. Presiden membentuk MPRS, dan seluruh anggota MPRS diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
    6. Presiden diangkat seumur hidup melalui Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963
    Hasil gambar untuk penyimpangan orde baru 

Penyimpangan UUD 1945 Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah yang ada di negara Indonesia, Soekarno selaku presiden mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Seiring dengan keluarnya dekrit tersebut demokrasi terpimpin pun mulai berlaku sampai dengan berakhirnya kekuasaan Soekarno. Demokrasi terpimpin adalah reaksi terhadap demokrasi liberal/parlementer karena pada masa Demokrasi Parlementer kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara, sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh partai
Dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah yang ada di negara Indonesia, Soekarno selaku presiden mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Seiring dengan keluarnya dekrit tersebut demokrasi terpimpin pun mulai berlaku sampai dengan berakhirnya kekuasaan Soekarno.
Demokrasi terpimpin adalah reaksi terhadap demokrasi liberal/parlementer karena pada masa Demokrasi Parlementer kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara, sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh partai.
Dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin ada penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945 diantaranya :

1. Dalam lembaga MPRS

a. Anggota MPRS diangkat oleh presiden berdasarkan Pen Pres No. 2 tahun1959, dengan ketentuan:
  • setuju kembali ke UUD ’45
  • setia pada perjuangan RI
  • setuju manifesto politik
b. Ketua-ketua dalam lembaga ini merupakan anggota kabinet
c. Tugas dan wewenang MPRS sebatas mengesahkan GBHN
d. Sesuai dengan point 3, Pidato presiden yang berjudul “Penemuan kembali Revolusi Kita” digunakan sebagai GBHN
e. Selain itu sidang MPRS dilaksanakan di Bandung

2. Membentuk DPAS

a. Anggota DPAS diangkat oleh presiden dengan Pen Pres No. 3 tahun1959
b. DPAS diketuai oleh presiden
c. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah

3. Membubarkan DPR hasil Pemilu

Presiden membubarkan DPR hasil pemilu karena DPR ini menolak RAPBN yang diajukan oleh presiden
Selanjutnya presiden membentuk DPR Gotong Royong, dengan tugas:
  • Melaksanakan manifesto politik
  • Mewujudkan amanat penderitaan rakyat
  • Melaksanakan Demokrasi Terpimpin

4. Memasyarakatkan ajaran Nasakom

Soekarno menyadari bahwa di dalam masyarakat terdapat berbagai kekuatan yang berbeda-beda, maka untuk menyatukan kekuatan tersebut ia mesosialisasika adanya ajaran Nasakom yang merangkum 3 kekuatan besar dalam masyarakat. Maka setiap lembaga pemerintahan harus berusurkan Nasakom
Ajaran ini memunculkan gejolak dalam masyarakat dan semakin memberi peluang komunis masuk dalam lembaga negara.

5. Mengangkat diri sebagai Presiden seumur hidup

Tujuan pengangkatan ini adalah agar kekuasaannya tak tergoyahkan dalam upaya untuk merealisasi ide dan gagasanya guna ”memperbaiki keadaan bangsanya”
Pengangkatan ini berdasarkan Tap No III/MPRS/1963

6. Memasyarakatkan ajaran Resopim

Resopim : Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional
Yang ditujukan untuk memperkuat kedudukan Presiden Soekarno
Ajaran ini menekankan bahwa semua unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus di capai dengan revolusi, dijiwai oleh sosialisme dan dikendalikan oleh satu pimpinan nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR) tiada lain adalah Soekarno sendiri. Akibatnya lembaga-lembaga tinggi ditempatkan dibawah presiden (lihat dalam pembentukan MPRS, DPAS dan DPRGR)

7. Pembatasan Partai-partai

Jika masa Demokrasi Liberal ada kebebasan partai-pastai tetapi pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno membatasi keberadaan partai-partai politik. Dari 28 partai menjadi 11 partai.
Semua partai –partai harus seide dengan Soekarno, yang menjadi pengganjal maka akan dibubarkan. Misalnya partai Masyumi dan PSI (Partai Islam Indonesia). Keduanya dinggap terlibat dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Dukungan kedua partai ini terhadap pemberontak wajar karena PRRI menetang keberadaan PKI dalam pemerintahan.

Hasil gambar untuk penyimpangan uud

G30S 1965

Tanggal 30 September malam, sejumlah prajurit Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung bergerak menculik enam jenderal dan seorang kapten: Komandan TNI AD, Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal MT Haryono, Letnan Jenderal S Parman, Mayor Jenderal DI Pandjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean.
Jenazah mereka kemudian ditemukan di sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta.
Panglima TNI Jenderal AH Nastion lolos, namun putrinya Ade Irma Suryani tewas, sementara ajudannya, Kapten Pierre Tendean, jadi korban, diculik bersama enam jenderal.
Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto bergerak cepat, memadamkan pemberontakan. Perburuan pada para pelaku G30S dilakukan cepat. PKI dinyatakan berada di balik gerakan pengambil alihan kekuasaan dengan kekerasan. Para tokohnya diburu dan ditangkap.  
Serdadu mengawasi para tersangka Komunis yang ditahan di sebuah lokasi di Tengerang, oktober 1965 
Sebagian tokoh PKI diadili di mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), sebagian dijatuhi hukuman mati. Ketua PKI, DN Aidit yang dituding merancang gerakan ini bersama ketua Biro Chusus PKI, Sam Kamaruzzaman melarikan diri ke Jawa Tengah, namun kemudian bisa ditangkap, dan dibunuh.Terjadi penangkapan besar-besaran terhadap para anggota atau siapa pun yang dianggap simpatisan atau terkait PKI, atau organisasi-organisasi yang diidentikan komunis, seperti Lekra, CGMI, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan wanita Indonesia (Gerwani), dll. 
Sebagian terbunuh. Sejumlah laporan menyebut, jumlah yang dibunuh begitu saja setidaknya mencapai 500.000 orang di berbagai daerah, khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Berbagai kelompok turun ke jalan, menuntut pembubaran PKI. Sebagian juga menghancurkan markas PKI di berbagai daerah, dan menyerang lembaga-lembaga, toko, kantor, juga universitas yang dituding terkait PKI.
Puluhan ribu orang dibuang ke Pulau Buru, dipekerjakan, tanpa pengadilan. Termasuk sastrawan yang namanya mendunia, Pramoedya Ananta Toer. Dan akhirnya, G 30 S menandai naiknya Mayjen Soeharto dan jatuhnya Presiden Soekarno. Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Begitu banyak versi, begitu banyak tafsir, begitu wacana. Juga begitu banyak korban, kebencian, dan saling tuding. Sampai sekarang berbagai upaya -dan niat- untuk menuntaskannya, tutup buku dari bab gelap sejarah Indonesia itu, tak kunjung berhasil. G30 S, PKI, komunisme, pembunuhan ratusan ribu orang itu kian lama justru kian jadi abstrak: topik yang muncul setiap waktu, khususnya bulan September, dan kini juga setiap ada pembicaraan tentang politik, pemilihan kepala daerah, juga pemilihan presiden.